Kareba Nusantara
Unik dan mengkhawatirkan, paling tidak kedua istilah ini amat pantas digunakan oleh publik saat menyaksikan tindakan “pengendalian informasi bagi pers”, seperti yang berlangsung pada hari Rabu (16/4/2025) petang di hadapan tempat tinggal mantan Presiden RI ke-7 Joko Widodo di area Sumber, Surakarta.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi kanal YouTube Liputan-6 SCTV dengan tautan berikut: youtu.be/tEwz85PSjmI.
Berikut ini adalah kisah tentang seorang jurnalis bernama Ichsan Nur Rosyid (INR). Katanya, kemarin sore, para jurnalis yang umumnya selalu siap didepan rumah itu diminta untuk datang ke dalam.
Tetapi dengan ketentuan bahwa sebelum memasuki pintu masuk, mereka harus menyerahkan semua kamera, telepon genggam, serta berbagai peralatan rekaman elektronik terlebih dahulu.
Tindakan yang dilakukan kemarin ternyata cukup Ironis dan memilukan di tengah lingkungan saat ini yang mengutamakan transparansi informasi serta perkembangan pesat dalam bidang komunikasi teknologi.
Karena awak media dan pers masa kini seharusnya aktual, faktual dan obyektif dalam memberitakan, disertai dengan bukti dokumentasi asli, baik berupa audio, foto maupun Audio-Visual (Video).
Wartawan diminta untuk sekali lagi hanya menonton, mengingat, dan menceritakan informasi yang sangat terbatas berdasarkan pengamatan mereka menggunakan kelima indera.
Terutama karena memang sangat terang bahwa begitu sampai di tempat itu, pihak media secara keseluruhan tidak diperkenankan untuk mengambil gambar dan hanya disuguhkan dengan pandangan sebatas pada hal yang ditampilkan.
Hal ini sangat menggambarkan kembali periode sulit bagi pers Indonesia saat rezim Orde Baru di Indonesia (1966-1998), ketika media harus berurusan dengan berbagai batasan dan pengawasan yang ketat sepanjang era tersebut.
Jurnalis sering kali perlu menaati aturan yang sangat ketat dan memperoleh persetujuan khusus agar bisa melaporkan berita tentang acara tertentu.
Seringkali bahkan setelah diluncurkan atau ditayangkan, tindakan sensor masih bisa terjadi jika laporannya tak cocok dengan keinginan para pemegang kuasa.
Bukan saja di Indonesia, bahkan saat masih berada dalam negeri Yaman Timur (sekitar tahun 1950 sampai 1989), di bawah pemerintahan komunis: Media begitu terkendali oleh negara sehingga jurnalis wajib mengikuti aturan yang ketat guna menutupi kegiatan umum, biasanya tanpa menggunakan alat perekam.
Juga di Uni Soviet, di era Stalin dan seterusnya, media mengalami sensor berat, di mana wartawan tidak diizinkan untuk meliput acara tertentu tanpa persetujuan dari otoritas.
Mirip Indonesia sekarang? Wallahualam.
Organisasi jurnalistik di Indonesia seperti PWI, AJI, IJTI, SPJ, AMSi, FWPI, dan PWOIN sebaiknya menggelar protes tegas atas kejadian tersebut kemarin.
Sebab itu bukan saja bertentangan dengan norma-norma kehidupan manusia, tetapi juga merusak mutu informasi yang dibagikan sehingga menjauhi tujuan jurnalisme kontemporer. Unsur subjekivitas pun semakin terasakan sebab bergantung sepenuhnya pada persepsi dan opini pribadi, ini sungguh membahayakan lantaran dapat menciptakan perpecahan antar saudara satu bangsa.
Jadi, tanpa adanya bukti visual apa pun, pernyataan wartawan INR pada video YouTube itu – dimana ia tidak dapat menegaskan apakah “ijazah” yang ditampilkan Jokowi identik dengan dokumen yang sebelumnya tersebar di media sosial – hanyalah bisa disimpulkan sebagai sangat mirip saja (?).
Tetapi kesaksiannya tak memiliki nilai apa-apa sebab kurang bukti dan hanyalah gosip seperti pembicaraan di kedai kopi.
Saat ia bertanya ke Jokowi tentang ‘kacamata’, yang diterimanya adalah respons bahwa “sebab tingkat minus-nya rendah sehingga setelah retak pada akhirnya tidak digunakan lagi,” suatu tanggapan yang lucu.
Ironisnya, beberapa jam sebelum kejadian itu terjadi, wakil dari masyarakat termasuk “Kelompok Pengejar Ijazah Palsu JKW” dan juga TPUA (Grup Pendukung Umat Islam dan Tokoh Masyarakat), justru ditolak untuk bisa melihat format “ijazah” tersebut dan bahkan dipersulit dengan undangan pertemuan di pengadilan jika mereka ingin melihatnya. Hal ini disebabkan oleh Joko Widodo sendiri yang menyampaikan bahwa dia bersedia menunjukkan ijazah aslinya hanya bila ada surat perintah resmi dari pihak pengadilan atau putusan hukum yang berlaku.
Sikap tidak terbuka dan terkesan menutup-nutupi fakta ini sebenarnya malah merugikannya sendiri karena semakin mempertajam kecurigaan masyarakat, meski sudah diperlihatkan ke depan awak media.
Hal 180 derajat berbeda adalah ketika kita melihat apa yang dilakukan terhadap Ijazah Wakil Presiden pertama sekaligus salah satu Proklamator kita, Mohammad Hatta atau Bung Hatta (12/08/1902 – 14/03/1980) yang sejarahnya setelah Beliau menamatkan pendidikan di Handelschool di Padang, kemudian melanjutkan pendidikannya ke Belanda, tepatnya di Universitas Nederlandse Handels-Hoogeschool (NHH) yang sekarang dikenal sebagai Erasmus Universiteit Rotterdam.
Melanjutkan studi Ilmu Perdagangan di Fakultas Ekonomi sejak tahun 1921 hingga akhirnya berhasil menyelesaikan program tersebut pada tahun 1932 dengan gelar Doktorandus dalam bidang Studi Ekonomi.
Yang luar biasa adalah bahwa sekarang semua orang yang mengunjungi kampus di Rotterdam dapat melihat replika ijazahnya dipajang di gedung perpustakaan Erasmus Universiteit ini. Ini merupakan bentuk penghargaan internasional dari Belanda atas jasa-jasanya kepada bangsa. Moh Hatta dikenali sebagai alumnus bersejarah dan figur global yang pernah menuntut ilmu di institusi itu, serta telah memberikan sumbangan signifikan bagi gerakan kemerdekaan Indonesia lewat saluran diplomatik dan ekonomi.
Secara keseluruhan, tidak perlu mencari-cari dalih untuk bersandar pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Nomor 14 Tahun 2008 atau Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Nomor 27 Tahun 2022 sebagai alas an, karena jika melihat ijazah Mohammad Hatta yang ada di sini, dengan jelas dapat diketahui bahwa itu adalah asli dan patut membuat bangga semua rakyat Indonesia sampai ditempatkan di kampus Belanda tersebut.
Namun jika ijazah tidak diizinkan untuk difoto, melainkan hanya bisa dibaca dan segala kamera serta ponsel harus diserahkan terlebih dahulu, istilahnya adalah membagongkan.
Persoalan ijazah palsu semakin memburuk karena ketidak-transparan-an ini, sehingga tagar #AdiliJokowi dan #MakzulkanFufufafa perlu menjadi bagian dari penyelesaiannya. (*)
Sumber :
Tribunnews
Baca
Kareba Nusantara
berita lainnya di
Google News
Peroleh data tambahan melalui Kareba Nusantara dengan menggunakan WhatsApp
:
di sini
Komentar