culture politics psychology of everyday life social issues society
Beranda / society / Jika Seseorang Gunakan 7 Frasa Ini, Mereka Bisa Orang Malas Pikir, Kata Psikolog

Jika Seseorang Gunakan 7 Frasa Ini, Mereka Bisa Orang Malas Pikir, Kata Psikolog

Jika Seseorang Gunakan 7 Frasa Ini, Mereka Bisa Orang Malas Pikir, Kata Psikolog



– Belum tentu setiap individu merasa penting untuk secara konstan meningkatkan pemikirannya atau mengevaluasi kembali data yang ada di sekeliling mereka.

Akan tetapi, di era yang rumit dan selalu berkembang, keahlian untuk menganalisis dengan cermat, bersedia mendengar gagasan segar, serta memiliki rasa ingin tahu yang tinggi merupakan modalitas yang amat bernilai.

Sayangnya, terdapat beberapa individu yang kelihatan puas dengan pengetahuan permukaan tanpa mau mengeksplorasi hal-hal secara mendalam lagi.

Pada bidang psikologi, individu semacam itu biasanya dikelompokkan sebagai yang kurang rajin dalam hal pemikiran—orang-orang tersebut tidak bermaksud menjadi konyol, melainkan lebih cenderung menghindari penggunaan kapabilitas berfikirnya dengan proaktif.

Tanda penting lainnya dapat diamati melalui pola bicaranya. Ungkapan-ungkapan spesifik mencerminkan kurangnya keinginan untuk memeriksa detail, mengambil pelajaran, atau mendengarkan sudut pandang yang belum pernah ada sebelumnya.

Update Kasus Dokter Residen Cabul di RSHS: Polisi Menanti Hasil Tes Psikologi dan Investigasi Forensik

Dilansir dari Small Biz Technology pada Kamis (10/4), terdapat 7 frasa yang menjadi indikator umum seseorang mungkin malas secara intelektual, menurut psikologi.


1. “Pokoknya begitu.”

Kalimat ini sering muncul saat seseorang tidak punya atau tidak mau memberikan penjelasan lebih dalam.

Istilah “pokoknya” merupakan cara menutup pintu terhadap pemikiran yang lebih dalam atau diskusi dengan logika.

Berdasarkan ilmu psikologi komunikasi, ungkapan semacam itu mencerminkan sikap yang bersifat tertutup serta ketidaktersediaan dalam menyelami berbagai argumentasi atau konsep baru.

Taman Safari Indonesia: Dengar Kisah dari Penyelamat Hewan hingga Gugatan Mantan Karyawan OCI

Seseorang dengan pemikiran kritis malah akan mengajukan pertanyaan seperti “Mengapa demikian?” atau “Apakah alasan di balik ini?” — tidak hanya terhenti pada ungkapan “Pokoknya”.


2. “Saya tidak ingin memikirkannya yang rumit.”

Perbedaan yang signifikan terdapat pada penyederhanaan kehidupan dibandingkan dengan pengelakan total dari pemikiran-pemikiran rumit.

Kalimat tersebut kerap dipakai oleh orang-orang yang enggan memikirkan detail-detail atau kenyataan yang kompleks.

Padahal, menurut psikologi kognitif, pemikiran yang matang justru membutuhkan pemahaman terhadap kompleksitas.

Strategi Ampuh Untuk Menghidupkan Kembali Pertumbuhan DPK di BPR: Solusi untuk Bank Perekonomian Rakyat

Menghindari kerumitan bisa jadi sinyal bahwa seseorang lebih suka kenyamanan instan daripada pemahaman yang mendalam.


3. “Memang sudah seperti itu sejak lama.”

Kalimat tersebut menggambarkan ketertarikan pada status quo bias, yang merupakan cendrung untuk tetap menggunakan metode lama semata-mata karena telah membiasakan diri dengannya.

Pada bidang psikologi sosial, hal tersebut menggambarkan engganannya dalam menyongsong perubahan, baik itu adaptasi terhadap data terkini, perkembangan teknis baru, maupun pola pikir alternatif.

Seseorang yang enggan berpikir keras biasanya akan menghindari pergantian hal baru semata-mata karena mereka merasa lebih betah dengan rutinitas sebelumnya.


4. “Pokoknya terserah, saya ikutan saja.”

Walaupun terkadang hal itu dapat mewakili tata cara yang baik, apabila kerap kali dikemukakan dalam pembicaraan atau proses pengambilan keputusan penting, ungkapan tersebut bisa mengindikasikan bahwa orang tersebut ragu untuk memikir dengan kritis atau menyumbangkan pemikiran mereka secara ilmiah.

Mereka memilih posisi pasif karena tidak ingin bersusah payah berpikir.

Psikolog mengatakan hal ini dikenal sebagai pemutusan mental—menarik diri dari partisipasi berpikir.


5. “Jangan terlalu memikirkannya, itu hal biasa.”

Kalimat tersebut mungkin merupakan cara untuk mengelak dari masalah yang signifikan atau rumit.

Berikut ini merupakan sebuah ilustrasi dari strategi pengelakan defensif dalam psikologi, di mana individu tersebut cenderung mempersingkat masalah kompleks hingga terlalu sederhana guna menghindarinya dan tidak perlu menghadapi tantangan intelektualnya.

Sebaliknya dari melakukan pemerdekaan yang lebih mendalam, mereka justru meratakan masalah atau ketidakpastian untuk menghindari pemikiran lebih lanjut.


6. “Tidak ada yang berbeda, bukan?”

Ini adalah bentuk herd mentality—berpikir seperti mayoritas tanpa mengevaluasi apakah itu benar atau tidak.

Orang yang malas secara intelektual sering menggunakan pembenaran kolektif sebagai cara untuk tidak harus membuat pertimbangan pribadi yang logis.

Psikolog menganggap hal ini menandakan adanya penurunan pada kebutuhan akan kognisi, yaitu ketertarikan individu terhadap pemikiran dan analisis informasi yang mendalam.


7. “Sudah lelah memikirkan ini, mengapa harus diperdebatkan lagi?”

Pada sejumlah situasi, lumrah merasakan kelelahan hingga menginginkan untuk berhenti memikirkan sesuatu.

Tetapi, apabila hal ini terjadi sebagai respon tiap kali masalah penting timbul, maka dapat menandakan bahwa orang tersebut enggan untuk berpikir secara kritis dan terlibat dengan materi yang dibahas.

Mereka mengambil kelelahan sebagai dalih untuk berhenti melakukan pemikiran kritis.

Secara keseluruhan, pandangan tersebut dapat membatasi pertumbuhan individu serta keterampilan berfikir yang rasional.


Penutup: Malas Intelektual Bukan Takdir, Tapi Pilihan

Bermalasan dari segi kecerdasan bukan bermakna individu tersebut tak memiliki kemampuan untuk berfikir, tetapi lebih kepada enggan menggunakan potensi itu.

Banyak kali hal itu disebabkan oleh ketenangan diri, rasa malu untuk membuat kesalahan, atau sekadar kebiasaan.

Namun bila diabaikan, kebiasaan tersebut dapat menyebabkan seseorang ketinggalan di era yang semakin rumit.

Kabar baiknya, siapa pun bisa berubah.

Dengan muali meragukan pendapat diri sendiri, bersedia mendengarkan gagasan segar, serta rajin melakukan dialog, kita dapat melepaskan diri dari jeratan ketidaktahuan yang disengaja.

Pada akhirnya, pemikiran menjadi lebih tajam bila selalu diasah melalui penggunaannya secara berkala.

Jika Anda kerap menjumpai ungkapan-ungkapan tersebut di lingkungan Anda, atau justru sering mengatakannya sendiri—not untuk mencari kambing hitam—maka mungkin sudah waktunya untuk introspeksi.

Sebab dunia sangat memerlukan lebih banyak pemikir, bukan sekadar pengikut arus.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com