Jakarta, IDN Times
Institut untuk Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef) menyampaikan hasil penelitian tentang pengaruh tariff balasan dari Amerika Serikat (AS) pada performa perdagangan luar negeri beberapa negara tujuan termasuk Indonesia.
Berikut penjelasannya: Tarif resiprokal adalah biaya atau pajak yang dipungut dari sebuah negara untuk barang-barang impor berasal dari negara lain, sehubungan dengan tindakan serupa yang sudah dilakukan oleh negara bersangkutan kepada hasil eksport dari negeri asal.
“Dampak pada sektor eksportir pun dapat diamati bahwa ekspor serta impor dari negara-negara yang menerapkan tariff cenderung menurun. Bahkan mereka yang tak mendapatkan dispensasi turut terkena imbasnya, hal ini disebabkan oleh gangguan dalam keseimbangan global atau sistem perdagangan internasional,” jelas Peneliti di Pusat Industri Perdagangan dan Investasi Indef, Ahmad Heri Firdaus, seperti dilansir Minggu (6/4/2025).
1. Pengurangan perdagangan luar negeri dengan mitra-mitra dagang Amerika Serikat
Ahmad menyatakan bahwa untuk Indonesia, eksport dan importnya mungkin akan berkurang sebanyak 2,83 persen dan 2,22 persen akibat dari implementasi tariff balasan Amerika Serikat yang mencapai 32 persen.
Di samping itu, China dengan bea balasan sebesar 34% diharapkan akan melihat penurunan impor hingga 14,53%. Meskipun demikian, eksportnya kemungkinan masih bisa naik sekitar 3,21%.
2. Pengurangan ekspor dari Indonesia
Penurunan performa dalam ekspor tersebut juga akan mempengaruhi beberapa bidang unggulan dalam ekspor di Indonesia.
Sektornya mengalami penurunan di mana manufaktur berkurang sebesar 36,97%, perlengkapan elektronik jatuh sebanyak 13,99%, bahan mineral menurun 10,13%, suku cadang listrik tergelincir 10,01%, sementara itu produk kimia anjlok sekitar 9,08%.
3. Efek Tarif Trump terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Di samping itu, kebijakan tariff balasan dari Trump ini pun akan mempengaruhi perkiraan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) bagi para mitra perdagangan Amerika Serikat tersebut. Diperkirakan PDB di Indonesia akan berkurang sebanyak 0,05%, sedangkan untuk Jepang adalah 0,04%. Untuk India diproyeksikan menurun menjadi 0,06%, Malaysia dengan estimasi penurunan mencapai 0,11%, serta Korea Selatan dan Filipina masing-masing terdampak dengan angka yang sama yaitu -0,03%. Di lain pihak, Vietnam juga dapat menghadapi perlambatan dalam PDBnya hingga sekitar 0,84%, China diperkirakan akan alami kontraksi 0,61% dan Thailand bisa jadi akan mengalami kemerosotan sampai 0,35%.
“Yang paling berdampak tentunya adalah Vietnam, sehingga akan mengecilkan laju pertumbuhannya hingga 0,85%. Misalkan jika biasanya bertambah sebanyak 5%, akibat dari kebijakan tersebut menjadi hanya 4,16% saja dikarenakan penurunan sebesar 0,84%. Selanjutnya, China pun tidak sedikit pengaruhnya pada tingkat pertumbuhan ekonomi mereka yaitu dengan pengurangan sekitar 0,61%,” ujar Ahmad.
“Berapa tentang Indonesia? Indonesia ini hanyalah mengalami penurunan sekitar 0,05 persen saja, sesuai dengan apa yang sudah disebutkan tadi, hal tersebut pun tidak begitu signifikan. Mengapa demikian? Karena kita masih melakukan perdagangan dengan cukup luas bersama negara-negara lain seperti India, China, Uni Eropa, dan bahkan ASEAN sendiri.” Dia melanjutkan.
Komentar