,
Jakarta
– Kebijakan
tarif impor
Sebagaimana dikabarkan oleh Presiden Amerika Serikat
Donald Trump
Pada hari Rabu, tanggal 2 April 2025, hal ini menciptakan ketakutan yang meluas, juga di Indonesia. Trump mengumumkan bahwa dia akan menerapkan bea masuk awal sebesar 10 persen pada segala jenis barang impor dari setiap negara, serta tarif tambahan bagi negeri-negeri yang dipandang melakukan perdagangan internasional tak adil dengan Amerika Serikat, seperti contohnya Indonesia yang mendapat kenaikan tarif hingga 32 persen.
Pada pidato di acara Rose Garden di gedung putih yang diselenggarakan dengan keberlangsungan mayoritas anggota kabinetnya, Trump menyampaikan bahwa selama bertahun-tahun Amerika sudah digalang kemiskinan, dibobol, dan ditindas oleh negeri-negeri tetangga serta asing lainnya, entah sekutu atau musuh. Namun hal tersebut tak bakalan terus berlanjut,” tegas dia.
Ancaman Pemutusan Hubungan Kerja Secara Massal serta Penurunan Eksportasi
Ekonom senior dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengkritisi langkah yang diambil Trump karena dinilainya bukan saja bersifat opportunis namun juga membawa risiko signifikan terhadap perekonomian Indonesia. Dia menyatakan bahwa sektor eksportasi Indonesia menuju Amerika Serikat sangat dipengaruhi oleh bidang-bidang seperti tenaga kerja intensif dalam industri tekstil, alas kaki, elektronik, karet, serta peralatan listrik. “Sektor kami ke AS mayoritas mencakup barang-barang hasil industri dengan banyak pekerja misalnya alas kaki, bahan tekstil dan produk-produknya, komponen-komponen karet, perlengkapan listrik, dan teknologi,” ungkap Wijayanto. Ia tambah, hal tersebut dapat memperkuat tekanan pemutusan hubungan kerja.”
Tidak berbeda jauh, Direktur Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini, menyatakan bahwa porsi ekspor Indonesia menuju AS mendekati 10,3%, menjadikannya sebagai negara tujuan eksportasi tertingkat kedua sesudah China. Menghadapi beban tarif hingga 32% serta kenaikan dalam hal biaya pengelolaan dan pendistribusian barang, ini tentunya menghasilkan penurunan signifikan pada kemampuan bersaing produk-produk dari Indonesia di pasaran Amerika Serikat. Para pelaku bisnis yang fokus pada perdagangan komoditi utama akan merasakan dampak tersebut dalam bentuk tambahan biaya besar. “Hal ini bisa berujung pada perlambatan proses produksi dan pembentukan lapangan kerja,” ungkap Eisha.
Dolar Menguat, Kemampuan Pembelian Hilang
Andry Satrio Nugroho, Kepala Divisi Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, mengatakan bahwa tarif impor terbaru yang diberlakukan oleh Trump berpotensi memengaruhi masa depan jutaan pekerja dalam negeri. Produsen barang ekspor utama seperti tekstil, sepatu, perangkat elektronik, mebel, serta hasil bumi akan mendapat beban tambahan akibat biaya tersebut. Sejauh ini, lebih dari 30 pabrik di bidang tekstil beserta anak-anak usahanya telah tutup selama tiga tahun belakangan.
“Andry mengatakan dalam pernyataan tertulis pada hari Kamis, 3 April 2025, bahwa jika pemerintah tetap tidak bersuara, kita tidak hanya akan kehilangan pasar utama, namun juga akan ada gelombang PHK massal di masa depan yang bahkan lebih besar,” katanya.
Seperti yang disampaikan oleh Andry, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Andalas bernama Syafruddin Karimi mengatakan bahwa tarif 32% dari Trump akan secara signifikan meredam daya saing ekspor, terlebih lagi di sektor berbasis tenaga kerja. Barang-barang seperti pakaian, perabot rumah tangga, serta sepatu sangat bergantung pada keuntungan harga bersaing di pasaran Amerika Serikat.
“Biaya sebesar ini akan meningkatkan harga penjualan, mendorong pembeli beralih ke negara lain, serta mengakibatkan potensi pemutusan hubungan kerja skala besar di dalam negeri,” katanya.
Apa yang Dikhawatirkan Dunia?
Kekhawatiran terhadap kebijakan
tarif impor
Baru-baru ini hal ini tidak hanya berdampak di Indonesia saja. Para ahli ekonomi internasional seperti Seijiro Takeshina dari Universitas Shizuoka, Jepang, menggambarkan efek global dari kebijakan tariff tersebut seolah-olah merupakan “gelombang tsunami pasca guncangan gempa bumi.” Dia memberikan peringatan tentang kemungkinan munculnya stagnansi inflasi secara global — yaitu kombinasi antara tingkat inflasi yang sangat tinggi dengan laju pertumbuhan ekonomi yang rendah.
“Bagi Jepang, kita mengirim 20% dari total ekspor kita ke Amerika Serikat, tetapi apa yang sebenarnya membuat kami cemas adalah efek samping – menurut pendapatku serupa dengan tsunami – pasca guncangan gempa besar ini. Singkatnya, konsekuensinya bagi dunia,” jelas Takeshita kepada
Al Jazeera
.
Tindakan Trump menimbulkan ingatan tentang UU Tarif Smoot-Hawley tahun 1930, yang menyebabkan krisis ekonomi global ketika itu akibat tindak balas dari para mitra perdagangan negerinya.
Ida Rosdalina, Ilona Estherina, Evrantri Karinaputri
berpartisipasi dalam penyusunan artikel ini.
Komentar