asia news politics politics and government politics and law
Beranda / politics and law / Parlemen ASEAN Kecewa: Pertemuan Antara Anwar Ibrahim dan Pemimpin Militer Myanmar Ditentang

Parlemen ASEAN Kecewa: Pertemuan Antara Anwar Ibrahim dan Pemimpin Militer Myanmar Ditentang

Parlemen ASEAN Kecewa: Pertemuan Antara Anwar Ibrahim dan Pemimpin Militer Myanmar Ditentang



Kareba Nusantara


,


Jakarta


-Anggota Parlemen

ASEAN

Untuk APHR mengungkapkan keprihatinan terkait pertemuan yang direncanakan untuk minggu ini antara Perdana Menteri Malaysia dengan pihak lainnya.

Anwar Ibrahim

sebagai Ketua ASEAN dan pimpinan

junta Myanmar

Jenderal Min Aung Hlaing berada di Bangkok, Thailand.

APHR menyatakan bahwa pertemuan tersebut memiliki potensi untuk memberikan legitimasi kepada rejim militer yang bertanggung jawab atas tindakan kekerasan di Myanmar. Mereka juga mengkritik bahwa acara ini akan sangat merugikan usaha bersama dalam mencapai perdamaian, demokrasi, serta penghormatan terhadap aturan hukum secara regional di Myanmar.

APHR mendesak Perdana Menteri Anwar Ibrahim untuk menegaskan kembali komitmen negaranya yang telah lama ada terhadap demokrasi, hak asasi manusia, dan perdamaian regional. Organisasi itu menolak segala bentuk keterlibatan yang memberikan pengakuan yang tidak semestinya kepada junta, memastikan upaya yang dipimpin ASEAN bersifat inklusif dan transparan, serta menempatkan keinginan demokratis rakyat Myanmar.

Anggota Dewan APHR dan Anggota DPR Thailand, Rangsiman Rome, mengatakan bahwa sejak kudeta pada 2021 tidak ada Ketua ASEAN yang bertemu dengan pemimpin junta. Sikap diplomatik itu, jelas Rome, memang disengaja untuk menafikan legitimasi rezim junta militer.

“Kebijakan Perdana Menteri Anwar yang menyimpang dari kebiasaan ini dapat menciderai integritas ASEAN dan meruntuhkan kesepakatan bersama di wilayah tersebut yang telah dirintis selama tiga tahun belakangan,” ungkap Rome pada pernyataan resmi APHR, Kamis, 16 April 2025.

Rusia Tertarik Beruji Coba dengan Timnas Indonesia, Kapan Ya Enaknya?

Charles Santiago, wakil ketua APHR dan mantan anggota parlemen dari Malaysia, juga mengekspresikan keraguan serupa. Dia berpendapat bahwa diplomasi seharusnya tidak merugikan legitimasi rejim yang dianggap “kejam dan kriminal”.

“Pemimpin ASEAN di tahun 2025, yaitu Malaysia, dituntut untuk membawa kepemimpinan penuh percaya diri—mengadvokasikan metode yang didasarkan pada Hak Asasi Manusia serta fokus pada masyarakat yang dibangun atas prinsip keadilan, tidak sekadar penenang situasi,” katanya.

Ketua APHR dan Anggota DPR Indonesia, Mercy Chriesty Barends, menganggap bahwa pertemuan antara Anwar dengan Min Aung Hlaing tanpa menyertakan tuntutan untuk menyelesaikan masalah kekerasan atau memulihkan demokrasi merupakan sebuah indikator bahaya. Menurutnya situasi tersebut tidak baik bukan saja bagi masyarakat Myanmar tetapi juga dapat membahayakan wilayah di sekitarnya,”

“Ini semakin menguatkan rejim militer yang sudah bersenjata dari bantuan kemanusiaan, meredam suara-suara pendukung demokrasi, serta melancarkan tindak kekerasan tanpa hukuman,” katanya.

Terkait hal tersebut, anggota Dewan APHR serta anggota parlemen dari Timor-Leste, Angelina Sarmento, menyatakan bahwa hingga saat ini bantuan humaniter yang diberikan kepada Myanmar masih terbilang rumit. Dia menambahkan, distribusi bantuan harus bersifat netral, tidak mendukung salah satu pihak, dan sepenuhnya didasari pada keperluan masyarakat setempat.

Warga Pinrang Temukan Dua Mortir Diyakini Ditinggalkan Jepang, Polisi Menghancurkannya

“Meneruskan bantuan lewat rezim yang hanya menduduki sejumlah kecil area negeri serta dengan sengaja mencegah pertolongan masuk ke daerah di kuasai kelompok menentangnya tak bakal berguna bagi orang-orang yang sangat memerlukan. Malahan hal itu dapat membuat kesulitan mereka semakin bertambah,” kata Sarmento.

Sejalan dengan anggota APHR yang lain, anggota Majelis APHR serta wakil DPR dari Filipina, Arlene Brosas, menggarisbawahi bahwa rakyat Myanmar secara tegas sudah menunjukkan penentangan mereka terhadap kekuatan militer.

“ASEAN perlu bertindak bersama dengan rakyat—nota para diktator. Memberikan legitimasi kepada junta akan melanggar nilai-nilai utama ASEAN serta harapan dari jutaan individu yang terus menolak pemerintahan militer,” ujarnya.

Sejak kudet militer di bulan Februari tahun 2021, Myanmar sudah menghadapi situasi semakin memburuk dalam hal pelanggaran hak asasi manusia serta bencana kemanusiaan. Pemerintah militer tersebut telah melancarkan tindakan-tindakan kriminal berskala besar seperti pemusnahan masal, detensi acak, siksaan, hingga serangan udara yang bertujuan untuk merugikan penduduk biasa.

Menurut laporan APHR, lebih dari tiga juta individu sudah menjadi pengungsi dipaksakan. Sementara itu, pemerintahan militer tetap menentang Kesepakatan Lima Poin ASEAN dan enggan menerima pembicaraan atau pendekatan politis yang melibatkan semua pihak.

Rugi Miliaran, Korban Gagal Bayar Koperasi Melania Laporkan ke Polisi

APHR menyadari kepemimpinan Malaysia di masa lalu dalam mendukung respons ASEAN yang bertujuan.

Akan tetapi, partisipasi aktif dalam dewan pimpinan ini—terlebih lagi tanpa syarat, transparansi, atau keterlibatan pihak berkepentingan dari Myanmar yang sah—sudah melanggar prinsip kepemimpanan moral dan diplomatis Malaysia.

APHR berpendapat bahwa situasi tersebut membawa ancaman dan bisa merusak kesatuan ASEAN yang telah goyah akibat krisis di Myanmar.

APHR menyampaikan informasi bahwa Min Aung Hlaing berniat untuk bertemu dengan pemimpin-pemimpin ASEAN dengan dalih merancang penyaluran bantuan kemanusiaan pasca terjadinya gempa bumi belakangan ini. APHR juga memberi peringatan supaya juntah tersebut tidak menggunakan persoalan kemanusiaan sebagai sarana untuk menerima pengesahan diplomatis.

Selanjutnya, PHR menggarisbawahi bahwa dukungan humaniter yang dapat dipercaya dan berdampak harus diatur bersama-sama dengan seluruh pihak terlibat, seperti Pemerintah Persatuan Nasional, kelompok penentangan suku bangsa, serta komunitas non-tentera.

“Bantuan tersebut tidak boleh digunakan untuk memperkuat kendali junta atau rencana kosongnya untuk pemilihan umum yang diatur oleh militer,” tulis APHR.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WP2Social Auto Publish Powered By : XYZScripts.com